Lebanon (3/1). Tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2010 yang merupakan tahun ke-62 pendudukan kaum Zionis atas negeri Palestina berjalan dengan diwarnai derita rakyat Palestina dan kejahatan orang-orang Zionis. Jalur Gaza, wilayah kecil yang sangat padat dengan populasi warganya sekitar satu setengah juta jiwa masih dipasung dalam blokade. Tak ada pintu yang terbuka untuk menghubungkan warga di Gaza dengan dunia luar. Pasokan makanan, obat-obatan dan keperluan hayati warga tak diizinkan masuk.
Semua itu dilakukan Rezim Zionis dengan bantuan sekutu-sekutunya demi memaksa warga Gaza yang resisten dan pejuang tangguh untuk menyerah kepada serigala-serigala buas berkedok manusia yang menamakan diri dan negeri jajahannya, Israel. Tak cukup dengan itu, secara berkala mesin-mesin perang Zionis menebar mesiu dan bom di Gaza dari darat dan udara.
Derita yang dialami warga Palestina di Gaza telah menyayat hati bangsa-bangsa di dunia. Protes dan kecaman pun terus mengalir dan pada tahun 2010, rezim Zionis dipandang rezim yang paling dibenci di dunia. Dunia mengecam Israel yang menurunkan pasukan komandonya untuk menyerang konvoi bantuan kemanusiaan dan kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan untuk warga Gaza. Aksi brutal yang menelan korban minimal sembilan aktivis kemanusiaan asal Turki gugur dan puluhan lainnya luka itu menunjukkan wajah buas yang sebenarnya dari rezim yang bernama Israel. Peristiwa itu sekaligus memperlihatkan bahwa Israel tak pernah menghormati batas-batas kemanusiaan dalam aksinya.
Tahun 2010 berlalu dan rezim Zionis semakin liar dengan aksi-aksi tebar maut dan barbarismenya. Akibat kebrutalan Zionis, dukungan dan pembelaan masyarakat dunia kepada rakyat Palestina semakin mengkristal. Intifada Palestina asalnya hanya gerakan perjuangan di dalam Palestina melawan rezim Zionis, sejak tahun 2000 menemukan bentuknya yang baru dan tak lagi terbatas di Palestina atau melibatkan pejuang Palestina saja. Kini suara penentangan terhadap Israel muncul dari berbagai belahan dunia.
Tak heran jika berbagai lembaga swadaya masyarakat dan aktivis dari banyak negara terpanggil untuk mengumpulkan bantuan bagi warga Gaza. Merekapun ikut dalam konvoi bantuan kemanusiaan itu tanpa peduli akan bahaya yang mengancam atau menerima nasib seperti yang dialami para aktivis Turki di kapal Mavi Marmara. Di tingkat pemerintahan, lebih dari seratus negara telah menyatakan dukungan mereka kepada pembentukan negara Palestina merdeka. Menurut data, 131 sampai saat ini sudah menyatakan mendukung berdirinya negara Palestina dengan batas teritorial tahun 1967.
Di Majlis Umum PBB, sebuah draf resolusi bersama disahkan dengan suara mayoritas yang mendukung hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri. Dalam draf resolusi itu dinyatakan bahwa rakyat Palestina berhak memiliki negara yang merdeka, dan karenanya, negara-negara dan badan-badan internasional di dunia diminta untuk secepatnya menyatakan dukungan kepada hak rakyat Palestina ini. Terkait hal ini, Amerika Serikat yang menjadi pelindung utama Israel menyatakan keberatan dan sikap protesnya.
Seiring dengan kian besarnya dukungan dunia kepada Palestina, AS juga kian getol menebar jaring tipu dayanya terhadap rakyat Palestina. Di antara yang dilakukan AS adalah mencegah terbentuknya front dunia bersama dalam mendukung Palestina. Hal itu dilakukan AS lewat berbagai forum dunia. Departemen Luar Negeri AS baru-baru ini melontarkan kritik terhadap negara-negara yang sudah menyatakan mendukung berdirinya negara Palestina merdeka. Di saat yang sama, DPR AS juga membuat keputusan menentang segala bentuk upaya membentuk negara Palestina merdeka dan menolak pengakuan resmi terhadap negara Palestina. Keputusan DPR AS itu diambil pada pertengahan Desember 2010 yang lalu. DPR juga menugaskan perwakilan AS di Dewan Keamanan untuk memveto setiap keputusan dan resolusi di DK PBB yang dibuat untuk mengakui berdirinya negara Palestina merdeka.
Bukan kali pertama AS bersikap seperti ini. Dalam beberapa dekade ini, AS sudah memveto puluhan resolusi di DK yang isinya mengecam Israel. Ini pertanda bahwa AS memang bukan mediator yang netral dalam krisis Palestina-Israel atau isu perdamaian Timur Tengah. Perkembangan paling anyar ini menunjukkan bahwa AS hanya mengejar kepentingannya saat mengenalkan diri sebagai mediator perdamaian. Kepentingan AS berkaitan erat dengan kepentingan Israel. Karenanya, AS tak keberatan jika demi kepentingan ini, rezim Zionis melakukan kejahatan terhadap bangsa Palestina bahkan dalam bentuknya yang paling keji sekalipun.
Sikap AS ini menuai kritik pedas dari berbagai kalangan. Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva pertengahan Desember lalu menyoal kebijakan AS di Timur Tengah seraya mengatakan, "Selama AS yang memainkan peran sebagai penengah dalam proses perdamaian, Timur Tengah tak akan pernah damai." Da Silva lebih lanjut mendesak diakhirinya kebijakan intervensif AS di Timteng.
Masalah yang paling krusial menyangkut dukungan dunia yang kian besar kepada rakyat Palestina adalah peran besar gerakan muqawama dan resistensi bangsa Palestina dalam menghadapi kejahatan rezim Zionis. Muqawama inilah yang telah menggagalkan agenda imperialisme Rezim Zionis dan AS. Berkat kegigihan dan resistensi para pejuang Palestina khususnya di Jalur Gaza, masyarakat dunia tergugah oleh kisah heroik yang mewarnai derita bangsa ini dalam usaha mempertahankan hak untuk hidup dan berjuang meraih kembali hak-hak yang telah ternistakan.
Ketika intifada Palestina meletus, terlebih, intifada kedua yang dikenal dengan intifada masjidul Aqsha, dunia tersentak. Tahun 2010, masyarakat dunia semakin tersadarkan bahwa Rezim Zionis Israel tak akan pernah menghormati kesepakatan apapun dan perundingan dengan Israel tak akan membuahkan hasil apapun bagi Palestina. Kekecewaan terhadap tindakan rezim Zionis juga sudah merambah tubuh elit pimpinan otorita Ramallah. Kenyataan yang sama sekian menguatkan opsi perlawanan muqawama untuk menghentikan kebijakan ekspansionis Israel. Rafiq al-Natshah, penasehat kepala otorita Ramallah Mahmoud Abbas dalam pernyataannya secara tak langsung mendukung opsi muqawama setelah mendapati Israel tak pernah menepati janji. Dia mengatakan bahwa rakyat Palestina tak dapat menerima persyaratan yang diajukan rezim pendudukan dan akan terus melawan.
Perundingan damai yang dilakukan PLO hanya membuat rezim Zionis semakin berani melecehkan harga diri dan kehormatan rakyat Palestina. Ketika semua pihak mendesak Tel Aviv untuk menghentikan proyek pembangunan permukiman di Tepi Barat dan Beitul Maqdis, Israel malah sesumbar akan memperluas proyek ini. Para petinggi AS yang selama ini menjadi pendukung utama Zionis bahkan secara terbuka meminta Israel untuk menghentikan proyek permukiman di Tepi Barat guna membuka kesempatan berunding dengan pihak Palestina.
Sementara itu, transformasi di Israel menunjukkan bahwa rezim ini semakin larut dalam problematikanya sendiri dan eksistensi rezim ilegal ini bergerak ke arah kehancuran. Seiring dengan gagalnya rezim Zionis dalam dua perang Lebanon dan Gaza, terbukti bahwa rezim ini bukan lagi momok menakutkan dan bukan pula kekuatan yang tak terkalahkan. Menteri Peperangan Zionis, Ehud Barak bahkan mengakui bahwa dunia tidak bisa lagi menerima kekuasaan Israel atas rakyat Palestina. Tak hanya itu, keterkucilan Israel di dunia juga semakin dirasakan oleh para petinggi rezim ini. Hal itulah yang diungkap oleh koran terkemuka Israel Haaretz.
Beberapa waktu lalu, media pemberitaan sempat dihebohkan oleh prediksi berbagai kalangan pengamat di Amerika yang yakin Israel bakal gulung tikar tak lama lagi. Bahkan ada yang sempat mengatakan bahwa kehancuran Israel bakal terjadi dalam lima tahun ini. Serangkaian fakta di Israel yang bila disusun seperti puzzle akan menunjukkan bahwa memang rezim ini bergerak ke arah kehancuran. Israel tengah digerogoti oleh berbagai krisis dalam negeri. (IRIB/Staf Info)