“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi di sekelilingnya. Untuk kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. (Q.S. Al-Isra: 1).
Berkaitan dengan Isra dan Mi’raj para teolog islam banyak berspekulasi tentang perjalanan ke langit pada malam itu, sebab hal itu menimbulkan beberapa kesulitan untuk memecahkanya. Ada yang berpendapat bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhani bukan jasmani, namun istri Nabi Aisyah, “Bahwa jasmaninya tidak hilang” di tentang semakin banyaknya kecenderungan untuk mengklaim bahwa perjalanan ini benar-benar secara jasmani, bahkan kaum Mu’tazilah menguatkan bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhaniah bukan jasmaniah. Namun mufasir Al-Qur’an kenamaan, Thabrani (awal abad ke-10), berpendapat bahwa perjalanan Nabi itu benar-benar terjadi secara jasmani, karena mereka lebih harfiyah, dan dalam Al-Qur’an sebagaimana ditekankan oleh Thabrani dengan jelas mengatakan “Allah telah memperjalankan hambaNya pada malam hari” dan “bukan jiwa hambaNya”.