Selasa, 25 Januari 2011

Apa yang Akan Terjadi di Lebanon

(Ditulis oleh Franklin Lamb)
KRISIS pemerintahan Lebanon baru-baru ini sebenarnya berawal pada 14 Februari 2005, Hari Valentine sekaligus hari pembunuhan perdana menteri Lebanon Rafik Hariri dan 20 orang lainnya. Pemerintah Bush menyatakan Suriah bertanggung jawab. Dari peristiwa ini, pemerintah AS melihat adanya satu kesempatan untuk memaksa rezim Basyar Asad agar menanggalkan persahabatannya dengan rival abadi Washington di kawasan, Iran, dan mengakhiri dukungannya kepada gerakan Perlawnanan Nasional Lebanon yang dipimpin oleh Hizbullah.

Salah seorang penasehat hukum Departemen Luar Negeri AS di bawah Menlu Condoleezza Rice mengajukan sebuah ide untuk menggunakan Dewan Keamanan PBB untuk membentuk sebuah Pengadilan Khusus untuk Lebanon (Special Tribunal for Lebanon—STL) dalam rangka mengadili para pembunuh Hariri dan mendesak Suriah agar lebih kooperatif kepada proyek-proyek Israel dan AS di kawasan. Apa yang tidak dipertimbangkan pada saat itu, dan belakangan menjadi berkah dari sudut pandang Israel dan pemerintah Bush, adalah bocoran informasi STL yang mengklaim bahwa anggota-anggota Hizbullah mungkin juga terlibat dalam pembunuhan tersebut. Israel dan AS pun segera berubah haluan dan memutuskan untuk menggunakan STL yang baru terbentuk itu untuk menghancurkan Hizbullah sekali dan untuk selamanya, dan juga untuk mengoreksi perilaku Suriah, karena percaya bahwa pemerintah Suriah juga bisa didakwa.

Tekanan terhadap Hizbullah membuat partai tersebut mengecam apa yang disebutnya sebagai “saksi-saksi palsu” dan dengan tegas mendesak pemerintah Lebanon untuk membuka kasus melawan mereka serta tidak mengizinkan STL—yang bagi Hizbullah dan kalangan lainnya sangat dipolitisasi karena tampak terburu-buru melakukan penilaian—untuk mendapatkan kerja sama dari pemerintah Lebanon. Para rival Hizbullah menyambut kehadiran STL, bahkan meski taruhannya adalah menempatkan stabilitas Lebanon dalam bahaya. Setelah hampir 14 bulan berupaya memohon pemerintah Hariri untuk secara serius mempertimbangkan ulang posisinya terhadap STL, kelompok oposisi yang dipimpin Hizbullah memberikan ultimatum kepada pemerintah untuk melangsungkan sidang kabinet pada 12 Januari 2011 dengan agenda membahas STL atau para anggota kabinet dari oposisi akan mengundurkan diri. Apa yang Hizbullah dan mitra koalisinya inginkan adalah agar PM Hariri menyelenggarakan sidang kabinet untuk mempertimbangkan apakah Lebanon akan menghentikan kewajibannya membayar 49% biaya operasional STL; apakah Lebanon akan menarik hakim-hakimnya dari STL; apakah Lebanon akan mengakhiri semua kerja samanya dengan STL dan mengadili para “saksi palsu” yang berkaitan dengan investigasi PBB terhadap pembunuhan Rafik Hariri.

Di bawah tekanan dahsyat dari Washington, Paris, dan Riyadh, Saad Hariri pun menolak semua permintaan pihak oposisi. Dan pihak oposisi pun akhirnya mengundurkan diri. Dalam Pasal 69 Konstitusi Lebanon, mundurnya sepertiga plus satu anggota kabinet secara otomatis akan membubarkan pemerintahan yang terdiri dari 30 menteri itu. Inilah kali pertama dalam sejarah turbulensi politik Lebanon, sebuah pemerintahan jatuh karena mundurnya sepertiga plus satu dari anggota kabinetnya.

Hizbullah memiliki 10 menteri dalam kabinet. Dan untuk mengamankan satu orang menteri lagi—demi membubarkan pemerintahan pro-AS ini—penasehat politik Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah, Hussein Khalili, mendatangi Sayyed Hussein, menteri yang ditunjuk langsung oleh Presiden Suleiman. Khalil dilaporkan menyampaikan salam dan harapan Nasrallah bahwa Hussein akan memutuskan apa yang akan ia lakukan berdasarkan pada hati nuraninya. Akhirnya Hussein pun mundur dari kabinet dan status Hariri sebagai perdana menteri pun berakhir ketika ia duduk bersama Presiden Obama di Gedung Putih.

Makna kejatuhan Hariri dalam jangka pendek
Reaksi para pemain regional sedikit banyak dapat diprediksi. AS menuding Iran, Suriah, dan Hizbullah telah ‘memeras’ pemerintah Lebanon. Perancis memperingatkan Suriah bahwa Damaskus harus bertanggung jawab jika terjadi kekerasan di Lebanon dan Inggris memperingatkan akan adanya bahaya jangka panjang. Menteri Luar Negeri Inggris William Hague berkata dalam sebuah pernyataan, “Ini adalah perkembangan sangat serius yang bisa mendatangkan implikasi krusial bagi stabilitas Lebanon dan kawasan.”
Para pejabat Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa mereka “secara hati-hati mengikuti perkembangan yang terjadi” di Lebanon menyusul pengunduran diri tersebut dan bahwa “Orang-orang Lebanon mengerti bahwa setiap upaya ekstrimis untuk mengganggu perdamaian akan menghasilkan perjudian yang berbahaya,” demikian dilaporkan televisi Israel Channel 10.

Sekarang Israel dipandang sedang memprovokasi perpecahan dan mengambil keuntungan dari krisi pemerintahan di Lebanon. Beberapa waktu lalu setelah menculik Sharbel Khoury, seorang penggembala Lebanon di dekat Rmeish (dibebaskan setelah 24 jam kemudian), Angkatan Laut Israel juga memasuki perairan Lebanon. Pada 13 Januari 2010, jet-jet tempur Israel terbang di atas Baalbek, Nabatiyeh, dan Marjayoun. Berbagai aksi ini adalah pelanggaran Israel ke-7269 dari 7270 pelanggaran Israel atas kedaulatan Lebanon sejak berlakunya Resolusi DK PBB 1701 pada Agustus 2006, yang memerintahkan Israel untuk meninggalkan wilayah Lebanon. Beberapa protes PBB dan UNIFIL tidak memiliki efek bagi Israel sementara Washington tetap bungkam terkait persoalan pelanggaran Israel atas kedaulatan Lebanon.

Anggota Free Patriotic Movement dan pendukung Hizbullah Jebran Bassil, yang merupakan menteri energi sebelum mengundurkan diri, menyalahkan Washington atas kegagalan upaya Saudi-Suriah untuk mencegah pengunduran diri anggota kabinet dari oposisi. “Ada pihak lain yang tunduk kepada tekanan pihak luar, khususnya tekanan AS. Mereka mengabaikan nasehat dan harapan-harapan pihak Saudi dan Suriah,” kata Bassil.

Di sisi lain, pemimpin Progressive Socialist Party (PSP) Walid Jumblatt tampaknya sependapat dengan Free Patriotic Movement dan menuding “kekuatan kegelapan” sebagai biang keladi kegagalan upaya mediasi Arab Saudi dan Suriah, suatu istilah yang merujuk kepada kekuatan-kekuatan Barat. “Tampaknya kekuatan kegelapan telah teribat dalam merintangi inisiatif Saudi-Suriah, yang dengannya kita akan menyaksikan upaya untuk melindungi konsekuensi negatif dari dakwaan STL.”

Sementara itu, pemimpin Lebanese Forces Samir Geagea menyalahkan rivalnya dari koalisi 8 Maret sebagai telah menjalankan kekuasaan dengan “gaya Stalin” karena telah mencuri hak prerogatif presiden dan perdana menteri.

Masa depan Hizbullah
Oposisi yang dipimpin Hizbullah, sebagai hasil dari pemilu terakhir, memiliki mayoritas kursi dari 128 kursi di parlemen Lebanon. Hal ini memungkinkannya untuk memilih seorang kandidat dari pihaknya sebagai perdana menteri setelah konsultasi presiden dengan parlemen. Pemimpin koalisi parlemen yang dipimpin Hizbullah, Mohammed Raad, mengumumkan bahwa oposisi akan memilih figur yang memiliki jejak rekam perlawanan nasional untuk memimpin pemerintahan yang baru. Beberapa kalangan berspekulasi bahwa Hizbullah mungkin akan mengusulkan pemimpin lama Sunni Omar Karami, seorang sahabat moderat yang memiliki dukungan kuat dari Suriah, kalangan progresif, dan publik.

Apa pun yang diputuskannya, Hizbullah mungkin sedang menggunakan waktunya untuk mempertimbangkan berbagai tanggung jawab utama yang akan diembannya jika ia memutuskan untuk memerintah Lebanon. Sebagian dari pendukungnya mendorong Hizbullah untuk menerima tantangan itu serta mengimplementasikan Manifesto 2009 dan platfomnya pada pemilu terakhir dalam rangka mengakhiri korupsi gaya mafia yang dilakukan banyak pemimpin politik Lebanon. Beberapa LSM dan kekuatan sipil Lebanon bahkan terus mendorong Hizbullah untuk melakukan lebih banyak hal demi menyelamatkan Lebanon yang semakin rapuh, memperbaiki persoalan-persoalan infrastruktur Lebanon, dan biarkanlah rakyat Lebanon memutuskan apakah Hizbullah benar-benar memenuhi janjinya dan memperoleh dukungan elektoral pada pemilu akan datang.
Sementara itu, pihak-pihak lain juga terus melobi Hizbullah untuk segera mengakhiri keterhinaan bangsa Lebanon dan Arab dan memberikan hak-hak dasar bagi pengungsi Palestina yang telah diakui secara internasional untuk bekerja dan memiliki rumah sendiri. Jika Hizbullah memimpin pemerintahan, prospek orang-orang Palestina dalam meraih hak-hak elementer tersebut akan semakin cerah.(VoP/Info Ops)

Penulis adalah ahli hukum internasional dan pengamat politik Timur Tengah asal Amerika Serikat, tinggal di Beirut. Artikel ini ditulis untuk Buletin Politik Counterpuch, 13 Januari 2011.