Naqoura (8/2) Terdapat banyak fakta di balik upaya Presiden Mesir Hosni Mubarak mempertahankan kekuasaan dan membayar kaum badui dan para preman untuk menyerang para demonstran di Bundaran Tahrir, Kairo.
Koran The Guardian terbitan Inggris dalam edisi terbarunya (8/2) menulis, Mubarak dan para kroninya telah bertahun-tahun menganggap Mesir bak milik pribadi dan saling berbagai sumber kekayaan negara ini.
Politik privatisasi secara meluas telah mendatangkan keuntungan melimpah bagi Mubarak dan kroninya dari berbagai sektor. Sekelompok kecil pengusaha menunggangi aset-aset publik dan mendominasi pasar komoditi penting seperti besi, baja, semen, dan kayu. Pada saat yang sama, sektor industri dalam negeri yang dulu menjadi penopang ekonomi negara, semakin hari semakin terkikis.
Sebagian besar industri Mesir dikendalikan hanya oleh sekitar 1.000 keluarga. Kelompok ini berupaya menjaga kekayaan mereka melalui senjata politik. Partai berkuasa pimpinan Hosni Mubarak, merupakan sarana prioritas untuk menggapai tujuan tersebut. Mubarak berkuasa dan mencengkeram kuat kekayaan negara di saat lebih dari separuh rakyatnya berada di bawah garis kemiskinan. Sekitar 40 persen warga Mesir berpendapatan kurang dari dua dolar perhari.
Dengan demikian, Mesir disetir ibarat properti pribadi. Sementara itu, kerabat Mubarak, berpartisipasi di sektor investasi sebagai partner sebagian besar pengusaha yang mengeruk keuntungan dari sistem korup rezim Mubarak. Mereka jelas tidak mungkin bersedia melepaskan istana-istana, pantai-pantai, pusat-pusat pariwisata, dan sektor perdagangan yang menggiurkan, serta timbunan kekayaan mereka. Ini semua adalah kekekayaan yang tidak bergerak dan tidak dapat direlokasi. Namun yang pasti, kekayaan likuid mereka telah tersimpan aman di bank-bank asing.
Televisi Aljazeera dalam laporannya menyinggung angka fantastis kekayaan keluarga Hosni Mubarak. Diperkirakan setelah 30 tahun bekerja keras menguras kekayaan negaranya, Mubarak berhasil mengantongi kekayaan sekitar 40 hingga 70 milyar dolar. (IRIB/Info Ops)