Minggu, 17 April 2011

Indonesia dan Bom Bunuh Diri


Lebanon (17/04)    Peristiwa ledakan bom yang terjadi di Masjid Polres Cirebon, Jumat (15/4/2011) menewaskan seorang pria yang diduga sebagai pelaku peledakan bom. Sekitar 27 orang yang menjadi korban akibat ledakan tersebut masih menjalani perawatan di rumah sakit, satu di antaranya Kapolresta Cirebon AKBP Herukoco.

Reaksi keras pun bermunculan dari para tokoh agama juga para pejabat pemerintah. Menteri Agama Suryadharma Ali mengutuk tindakan bom bunuh diri itu. Semuanya mengutuk. Apalagi sasarannya kali ini adalah masjid. Tak hanya itu, kejadian ini sekaligus juga membuat cemas masyarakat karena berhasilnya teroris menyusup ke dalam markas polisi.


Beberapa media cetak maupun online memuar rubriknya termasuk Media Indonesia dalam  editorialnya menulis masalah ini. Bom kali ini berbeda karena dilakukan dengan cara bunuh diri dan dengan pola yang berbeda dengan menyerang sebelumnya yang menyerang fasilitas yang berkaitan dengan kepentingan Amerika. Bom sebelumnya sarat dengan kebencian terhadap Amerika yang dianggap gemar menyerang dan menduduki negara-negara Islam. Bom bunuh diri kali ini sebaliknya, malah dilakukan di masjid, ketika umat Islam hendak salat Jumat. Inilah pertama kali terjadi di negeri ini bom diledakkan di masjid, bahkan di masjid di lingkungan kantor kepolisian. 

Mengapa masjid yang dijadikan sasaran? Apakah itu cara untuk mengaburkan motif bahwa pelakunya bukan dari kalangan Islam ekstrem? Mengapa pula yang dipilih kantor kepolisian? Apakah polisi tengah menjadi sasaran terorisme setelah polisi berhasil menumpas berbagai pentolan teroris? Yang pasti, rasa aman masyarakat terusik. Jika kantor polisi saja tidak aman dari serangan bom bunuh diri, bagaimana dengan keamanan ruang-ruang publik lainnya? Jika polisi yang dibekali dengan keterampilan menjaga keamanan saja tidak aman dari serangan terorisme, bagaimana dengan masyarakat umum? 

Oleh karena itu, aparat keamanan harus dapat mengungkap kasus ini sebagai langkah awal bagi pemulihan rasa aman masyarakat. Akan tetapi, menangkap dan menghukum mati para pelaku bom ternyata tidak cukup untuk menghancurkan terorisme. Buktinya, teroris baru terus lahir. Kita harus menggali akar bom bunuh diri di Indonesia. Apalagi, sebagian pelaku bom bunuh diri dan tersangka teroris adalah anak-anak muda. Dani Dwi Permana, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott pada 2009, misalnya, masih berusia 19 tahun. Begitu pula pelaku bom bunuh diri di Polresta Cirebon diperkirakan masih berusia 20 tahun.

Kita sering kali berkesimpulan pencucian otak dengan doktrin-doktrin agama menjadi penyebab anak-anak muda itu menjadi teroris, bahkan rela mati dengan melakukan bom bunuh diri. Pertanyaannya, mengapa mereka begitu gampang direkrut dan diindoktrinasi?. Kemiskinan, keterbatasan pendidikan, ketiadaan pekerjaan, dan frustrasi sosial sepertinya menjadi penyebab utama mereka begitu mudah diindoktrinasi untuk menjadi teroris. Semua persoalan sosial itu menjadi habitat subur bersemainya terorisme.

Pertanyaanya, apa sesungguhnya kepentingan aksi terosrisme yang ada selama ini khusunya di Indonesia? Siapakah mereka sebenarnya? Sampai kapankah korban-korban berjatuhan?

Para pelaku bom bunuh diri umumnya memang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah.
Dari sudut pandang ini, selain terus melakukan tindakan represif oleh kepolisian, pertumbuhan terorisme hanya dapat dimandulkan dengan memperbaiki keadaan ekonomi rakyat. (IRIB/Info Ops/Admin)

Di edit dari berbagai macam sumber media oleh : admin