Lebanon (13/04) Majalah Der Spiegel dalam laporannya bertajuk "Demokrasi atau Dolar" menulis, "Barat di balik klaimnya mendukung demokrasi, berusaha menjual senjata dan mengeruk keuntungan besar." Terbukti bahwa senjata dari negara-negara Barat pengklaim demokrasi itu memenuhi gudang persenjataan negara-negara diktator sahabat Barat baik yang telah terguling maupun yang masih berkuasa.
Bersandarkan pada kunjungan delegasi para pengusaha industri persenjataan Inggris ke Timur Tengah, Speigel menekankan bahwa tujuan kunjungan itu adalah menjual senjata kepada rezim-rezim diktator Arab. Para delegasi itu, sebulan lalu menyertai kunjungan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, ke negara-negara Arab di sekitar Teluk Persia.
Ketika para anggota parlemen Inggris, mengecam Cameron karena dinilai terlalu ceroboh, Cameron dalam menjustifikasi kebijakannya itu mengatakan, "London telah mengambil sumpah dari para pembeli senjata tersebut untuk tidak menggunakan persenjataan produksi Inggris dalam melanggar HAM".
Spiegel menegaskan, "Namun kita harus ingat bahwa Inggris yang mengklaim telah mengambil sumpah ketika menyerahkan senjata kepada pihak pembeli, dua tahun lalu telah meraup keuntungan lebih dari 100 juta euro setelah menjual senjata kepada diktator Libya, Muammar Gaddafi. Senjata yang saat ini digunakan untuk membantai warga tak berdosa Libya."
Di tempat lain, polisi anti huru-hara rezim Gaddafi juga telah dilatih oleh Inggris. Saat ini, London harus segera membatalkan ijin ekspor senjata ke Libya dan Bahrain.
Barat yang kini berakting soalah sangat menyayangkan aksi para penguasa diktator Arab, beberapa waktu lalu menandatangani kontrak penjualan senjata senilai ratusan juta dolar dengan rezim-rezim diktator tersebut. Ini berarti Barat telah membantu memperkuat benteng pertahanan rezim otokratik Arab.
Faktanya, Barat tidak sedang mendukung HAM atau demokrasi, melainkan hanya berniat menjual senjata kepada para diktator Arab yang mereka kenal sebagai pembeli senjata yang membayar tepat waktu dan tidak rewel.
Saat ini, rezim Gaddafi menggunakan teknologi dari Jerman, Perancis, atau Italia untuk membantai warganya. Pada tahun 2009, rezim Gaddafi menandatangani kesepakatan pembelian senjata dari Barat senilai 110 juta euro.
Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris menyepakati penjualan senjata ke Yaman senilai 183 juta euro. Senjata tersebut kini digunakan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, untuk membantai warganya sendiri demi mempertahankan kekuasaan. Begitu pula dengan Arab Saudi yang merupakan pembeli setia mesin-mesin perang dari Amerika Serikat. Tahun lalu, Washington mengkonfirmasikan rencananya untuk meneken kontrak senjata terbesar dengan Arab Saudi. Dalam kurun waktu lima hingga 10 tahun mendatang, Saudi akan menerima berbagai persenjataan termasuk pesawat tempur produksi Amerika Serikat yang nilai totalnya mencapai 60 milyar dolar.
Majalah terbitan Jerman ini juga menyebut nama Uni Ermirat Arab sebagai salah satu negara shopaholic persenjataan Barat. Pada 2010, UEA telah menyusun list panjang persenjataan yang harus dibeli dari Amerika Serikat. Konon total harganya mencapai 40 milyar dolar. (IRIB/Info Ops)