Sabtu, 14 Mei 2011

Israel Berulang Tahun, Suka atau Duka ?

Beirut ( 15/05)        15 Mei mengingatkan kita akan peristiwa kelabu yang terjadi 63 tahun lalu, saat sebuah komunitas teroris yang menggunakan atribut agama mengumumkan berdirinya sebuah negara bagi kelompok mereka. Rezim itu berdiri secara ilegal di negeri milik sebuah bangsa yang mereka usir, bantai dan rampas kehormatan dan semua yang mereka miliki. Israel, itulah nama yang dipilih komunitas Zionis untuk negara ilegal yang mereka dirikan. Hari ini, oleh bangsa Palestina yang terusir dan bahkan oleh seluruh bangsa Arab dan umat Islam disebut dengan nama hari Nakba yang berarti petaka. 
 
Sejak beberapa hari lalu, seseorang yang tak dikenal tiba-tiba menjadi sorotan media massa karena memaparkan ide konyol, merayakan hari ulang tahun berdirinya Israel. Reaksi bermunculan. Departemen Luar Negeri menyatakan menolak rencana itu dengan dalih Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dan tidak mengakui eksistensi Israel. Sikap Deplu ini memang cukup diplomatis dengan menitikberatkan masalah pada kebijakan negara yang tidak mengakui Israel dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengannya.


Gaya serupa juga diperlihatkan oleh kepolisian RI. Seperti dikutip Kompas, Polri tidak akan memberikan izin kepada Unggun Dahana, pria yang mengaku pencinta negara Israel, untuk menggelar acara peringatan hari berdirinya negara Israel ke-63 di Jakarta. Kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, berdasarkan penjelasan Kementerian Luar Negeri, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sehingga (Polri) tidak menolerir kegiatan perayaan HUT Israel. Alasan lainnya adalah karena masalah teknis, yaitu karena persyaratan belum lengkap. Dengan alasan permohonan untuk menggelar perayaan itu diajukan tidak dalam 7 x 24 jam sebelum acara, pihak Badan Intelijen dan Keamanan Polri langsung menolak.

Dalam kasus ini, yang menarik adalah pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Dia mengatakan, wacana perayaan HUT Israel sebaiknya tidak dilarang. Pasalnya, menurut Mahfud, dalam konstitusi, selama tidak mengandung tindak kriminal, perayaan tersebut sah-sah saja jika dilakukan. Mahfud menyamakan peringatan HUT Israel dengan perayaan Valentine Day dan semisalnya. 

Entah disengaja atau tidak, Ketua MK terkesan berbicara di luar konstitusi. Bukankah di pembukaan UUD 1945 disebutkan prinsip yang menolak penjajahan di muka bumi? Apakah berdirinya sebuah rezim secara ilegal di negeri milik bangsa yang lain tidak bisa dikategorikan penjajahan. Jika Indonesia dulu pernah dijajah namun bangsa dan rakyat Indonesia masih berada di negeri sendiri dan hanya penjajah yang dating menguasai negeri ini, Palestina bukan hanya kisah penjajah sebuah negeri. Tapi lebih dari itu, rakyat dan pemilik sah negeri itu diusir dari kampung halaman bahkan dibantai dan dinista. Yang layak dipertanyakan, apakah konstitusi Indonesia memperbolehkan orang untuk merayakan penjajahan sebuah negeri?

Eksiskah Komunitas Yahudi Indonesia?
Benarkah Komunitas Yahudi Indonesia itu eksis di negeri ini? Benarkah apa yang disebut Komunitas Yahudi Indonesia itu akan merayakan HUT Israel yang berarti merayakan HUT bangsa lain? Kompasianer Hanif YS menulis pandangannya di social media Kompasiana. Simak....berikut ini..

Pagi ini secara tak sengaja saya menonton talkshow di sebuah televisi swasta tentang rencana kelompok Yahudi Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Israel 14 Mei, Sabtu besok. Saya termenung sesaat. Pertama yang ada dalam benak saya, apa benar ada Komunitas Yahudi di Indonesia? Kedua, apa tujuan mereka merayakan HUT bangsa lain yang sampai saat ini tidak ada korelasinya dengan Indonesia? 

Yahudi adalah sebuah bangsa sekaligus teologi yang belakangan selalu menimbulkan kontroversi karena sepak terjang dan sejarah pembantaiannya terhadap bangsa Arab di Palestina. Anehnya selama ini saya belum mendengar bangsa dan teologi ini tumbuh atau ada di Indonesia. Kenapa kemudian muncul berita akan ada perayaan bangsa Israel di sini? Atau saya memang terlalu kuper sehingga saya tidak tahu bahwa Yahudi tidak hanya ada di sekitar Hebron dan sekitar bukit Zion. 

Narasumber mengatakan bahwa tujuan komunitas ini ingin meredam kekerasan yang selama ini meningkat di Indonesia. Saya berpikir apakah mereka tidak salah tujuan...? Bukankah dengan menyentuh sensitivitas sebagian besar masyarakat yang tak simpati dengan sepak terjang Israel terhadap rakyat Palestina selama ini berarti menciptakan embrio kekerasan baru?

Mereka bisa saja berdalih menjunjung pluralisme di negara yang memiliki heterogenitas tinggi ini. Tapi bukankah tidak harus dengan cara demikian (merayakan HUT Israel) dan kemudian memublikasikannya. Sementara Indonesia sampai detik ini tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Walaupun ada informasi bahwa kontak diplomatik dan organisasi sosial antara Jerusalem-Jakarta perlahan mulai dirintis, bukan berarti harus melukai perasaan mayoritas rakyat Indonesia yang masih geram dengan agresi mereka terhadap rakyat Palestina. 

Kalau untuk tujuan meredam kekerasan, tampaknya mereka salah arah berkiblat. Kita semua paham bahwa sepanjang sejarah zionisme yang ditabuh sejak akhir abad ke-19, selalu diwarnai dengan pertumpahan darah dan kekerasan. Ribuan nyawa melayang oleh moncong senapan dan meriam Israel. Sementara mereka hanya mampu melawan dengan batu (baca: intifadah). Pembantaian terhadap warga sipil selalu kita dengar melalui media. Ini catatan hitam yang tak pernah terselesaikan bahwa Israel sudah dan sedang melakukan pembersihan etnik yang dari perspektif apa pun tak bisa dibenarkan.

Lalu apa untungnya mereka merayakan hari ulang tahun negara lain? Bahkan ulang tahun sebuah bangsa yang tak ada hubungan sama sekali dengan kita, baik aspek sosiologis, politik, kultur, atau teologis. Dampak negatifnya lebih banyak, moderatnya jauh lebih besar dari manfaatnya yang nyaris tak ada.

Aparat negeri ini sedang bersusah payah membangun stabilitas dan keamanan, kasus demi kasus masih belum terselesaikan. Negeri ini memang heterogen. Tapi jangan dengan dalih demi pluralisme kita memantik api dan menyulut kegeraman baru. Harmoni antar-umat memang harus kita junjung tinggi. Tapi di saat stabilitas bangsa dan sendi keberagaman masih rapuh, rasanya tak layak melakukan hal-hal yang tak perlu.

Bukankah merayakan hari jadi negara lain bisa mencoreng wajah bangsa sendiri, bahkan mungkin dianggap makar? Semoga coretan pendek ini menjadi pertimbangan agar keinginan sebagian kelompok tidak melukai kelompok yang lainnya. (IRIB/Kompas/Republika/Info Ops)