Lebanon, (21/04) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/4/2011), meminta TNI dan Polri bersinergi menumpas terorisme dan radikalisasi di Indonesia. Terlebih, belakangan ini marak terjadi aksi radikalisme dan terorisme, seperti yang terjadi di Cirebon. Ada pula bom buku yang sempat meresahkan masyarakat di Indonesia.
Kompas dalam situsnya menyebutkan, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono seusai rapat kepada para wartawan mengatakan, "Presiden meminta TNI dan Polri bersinergi. Yang lebih penting yang tadi ditekankan oleh Bapak Presiden adalah meminta bantuan bukan berarti tidak mampu. Itu yang paling penting. Tapi justru mensinergikan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki agar lebih efektif dalam menangani permasalahan".
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengatakan, masyarakat diharapkan berpartisipasi dalam upaya preventif dan preemptif. "Preemptif memberikan daya tangkal kepada masyarakat untuk bisa mengamankan lingkungannya. Preventifnya kita libatkan dalam arti tidak semua di-cover oleh Polri. Jadi, masyarakat bagian dari pencegahan," kata Kapolri.
Berkaitan pula dengan upaya pemberantasana terorisme, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj meminta masyarakat untuk mewaspadai yayasan Islam di Indonesia yang mendapat dana bantuan dari negara Arab. Ditengarai, yayasan Islam ini menyebar ajaran berteologi kekerasan.
Hal itu dikemukakan Said Aqil Siradj dalam acara bedah buku karangan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Daisaku Ikeda bertajuk "Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian" di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (19/4/2011).
Dikatakannya, "Kita perlu waspadai yayasan-yayasan Islam yang memperoleh dana dari Arab, dan itu merupakan ajaran teologi kekerasan yang diajarkan kelompok-kelompok Islam di Arab". Menurutnya, fenomena Islam yang keras disebabkan oleh faktor kemiskinan, kebodohan serta pemahaman Islam yang keliru. Padahal, Islam menjunjung perbedaan dalam beragama. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengajarkan toleransi. Gagasan Islam yang menghargai kehidupan itu, kata dia, tercermin dalam buku yang ditulis Gus Dur dan Ikeda.
"Kekerasan yang terjadi saat ini bukan budaya dan ajaran agama Islam," imbuhnya. "Bagi NU tema ini bukan barang asing, misi Islam bukan hanya syariah saja tapi juga mengajarkan anti kekerasan. Nabi telah mendirikan negara Madinah bukan negara Islam yang menjunjung persamaan, perbedaan etnis dan agama. Agama semua sambung menyambung dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad. Al-Quran sendiri merupakan wahyu terakhir sebab merupakan wahyu universal," urainya.
ANTARA News juga menurunkan berita yang sama. Disebutkan, KH Said Aqil Siradj menyatakan, penanganan radikalisme agama tidak mungkin dihadapi secara parsial. Ditambahkannya"Sebagai kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial". Dikatakannya, problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir, sehingga dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensif dan terpadu.
Beberapa faktor yang menyebabkan terorisme masih terus berkembang diantaranya kemiskinan, kebodohan, balas dendam, dan pemahaman Islam yang salah. "Saya memandang penanganan radikalisme agama idealnya menempuh langkah legal formal dan langkah kebudayaan sekaligus," kata Said Aqil. Pendekatan legal formal mengasumsikan tanggung jawab negara melalui koridor konstitusi dan prosedur hukum yang ada. "Di situ pemerintah mestinya memandang tanggung jawab melindungi hak hidup warga negara dan menjaga keutuhan NKRI sebagai harga mati," katanya.
Buku "Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian" berisi dialog antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Daisaku Ikeda, Presiden Ketiga Gerakan Sokka Gakkai Internasional. Dalam buku setebal 309 halaman itu, kedua tokoh itu mengajak setiap agama dan keyakinan untuk bekerja sama menuju satu tujuan yakni perdamaian. Salah satu strategi untuk mencapai tujuan itu adalah melalui dialog. Dalam buku itu Gus Dur juga menandaskan bahwa Islam tak menganjurkan perang, sebaliknya orang-orang berperang atas alasan faktor-faktor di luar agama. Sementara Ikeda menyatakan Buddhisme yang menjunjung kehormatan jiwa pun bertujuan perdamaian dan mengajarkan sepenuhnya tentang jalan kedamaian.(IRIB/Info ops)